Jakarta Biennale 2017 : JIWA | Part 1 | Event Review

Share:

Tentang Jakarta Biennale
Jakarta Biennale merupakan perhelatan akbar seni rupa kontemporer Indonesia yang dilangsungkan setiap dua tahun sekali. Pertama kali digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 1974 dengan nama Pameran Besar Seni Lukis Indonesia. Sejak 2009, Jakarta Biennale diselenggarakan dalam skala Internasional. Kegiatan ini terakhir digelar pada 2015 dengan tajuk “Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang.” Pada Jakarta Biennale 2017, Melati Suryodarmo dipilih sebagai Artistik Direktur, dengan mengangkat konsep “Jiwa” sebagai gagasan artistiknya.

Sejarah Jakarta Biennale

Perjalanan Jakarta Biennale bermula pada 1974, ketika Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan sebuah pameran bernama Pameran Seni Lukis Indonesia di Taman Ismail Marzuki. DKJ merupakan salah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 7 Juni 1968 sebagai mitra kerja Gubernur Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk merumuskan kebijakan guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Propinsi DKI Jakarta.


Sebanyak 81 pelukis dari berbagai wilayah dan generasi seniman terlibat dalam Pameran Seni Lukis Indonesia itu. Selain penyelenggaraan pameran, sebuah panel juri dibentuk untuk memberikan penghargaan pada karya-karya terbaik dalam pameran tersebut. Meski belum menggunakan istilah “biennale”, pameran tersebut telah direncanakan untuk diadakan setiap dua tahun sekali.
Suasana pembukaan Pameran Seni Lukis Indonesia di Taman Ismail Marzuki, tahun 1974 (Arsip daring IVAA, diakses tanggal 2 Juli 2017).

Nama penyelenggaraan pada tahun-tahun tersebut berganti menjadi Pameran Besar Seni Lukis Indonesia. Baru pada penyelenggaraan pameran edisi 1982, nama biennale untuk pertama kalinya digunakan, dan namanya menjadi Pameran Biennale V. Selanjutnya, penggunaan istilah biennale diteruskan pada edisi 1984, dengan tajuk Biennale Seni Lukis Indonesia VI. Biennale VII berlangsung pada 1987.
Perubahan PentingBeberapa perubahan terjadi pada Biennale Seni Rupa Jakarta IX 1993 (BSRJ IX 1993). Perubahan paling terlihat adalah penggunaan istilah “seni rupa” menggantikan “seni lukis” yang telah dipakai sebelumnya. Beberapa karya-karya dengan medium di luar lukisan ditampilkan, seperti seni instalasi, seni video, dan performans. Juga pada perhelatan BJ 1993, Biennale Jakarta pertama kalinya menggunakan “kurator” sebagai perumus perspektif pemilihan dan penyajian karya dalam pameran.
Sampai pada saat penelitian ini dilakukan, Jakarta Biennale 2017 sedang mempersiapkan dirinya untuk penyelenggaraan JIWA: Jakarta Biennale 2017. Tema Jiwa dipilih oleh Melati Suryodarmo sebagai direktur artistik pada penyelenggaraan JB ke-17 ini. Melati Suryodarmo dipilih oleh Jakarta Biennale sebagai artistik direktur untuk menyelenggarakan JB 2017, bersama empat kurator yang dipilih melalui proses pemilihan terbuka.
Suasana ruang pameran pada pembukaan Jakarta Biennale XIII 2009: ARENA (Arsip daring Galeri Nasional Indonesia, diakses tanggal 2 Juli 2017).

Menjadi YayasanDilihat dari sisi intitusinya, JB 2015 merupakan penyelenggaraan Jakarta Biennale pertama yang berada di bawah Yayasan Jakarta Biennale (YJB). YJB secara resmi berdiri pada 2014, meskipun ide mendirikan yayasan ini telah muncul sejak 2006. Yayasan Jakarta Biennale didirikan dengan pemikiran bahwa diperlukannya sebuah lembaga yang lebih mandiri untuk menyelenggarakan Jakarta Biennale. Kemandirian ini yang kemudian diharapakan dapat menjaga profesionalitas penyelenggaraan Jakarta Biennale.
Munculnya Yayasan Jakarta Biennale secara langusng menggantikan peran Komite seni rupa DKJ sebagai pelaksana, menjadi penasehat dan juga anggota board yayasan. Tujuan utama yayasan ini seperti yang diungkapkan oleh Ade Darmawan dalam wawancara dengan penulis, adalah untuk menjadi lembaga yang menjembatani antara bidang keseniannya, seperti penyelenggaraan pameran, dengan publik Jakarta Biennale sendiri.
Tentang JIWATema “Jiwa” hadir dalam Jakarta Biennale 2017 dalam berbagai rupa. Jiwa bisa dimaknai sebagai semangat yang terwujud dalam setiap unsur kesenian, sebuah ranah imajinasi dan penciptaan dalam ruang dan waktu. Jiwa sebagai semangat berarti jiwa sebagai identitas. Sebuah pembeda yang berguna untuk merangkum atau memisahkan satuan wujud yang niscaya diperlukan dalam kehidupan.
Salah satu cara untuk menghadirkan identitas itu adalah dengan melihat kembali sejarah. Dengan mencoba melihat beberapa pelaku dan kisah-kisah yang terlupakan, Jakarta Biennale 2017 salah satunya berupaya untuk menghadirkan kembali, atau memberi peluang kehadiran, jiwa seni rupa Indonesia. Tanpa mengenali sejarah-sejarah kesenian, niscaya pencarian atau pemenuhan jiwa seni tidak akan bisa tercapai.
Jiwa dalam makna kedua yang dipahami Jakarta Biennale 2017 adalah jiwa sebagai kondisi niscaya sebuah sistem kepercayaan yang selalu berupaya memberi makna pada kehidupan. Dulu, segala aspek kehidupan bertumpu pada lingkaran kehidupan atau sebuah sistem kepercayaan. Melalui sistem kepercayaan itulah jiwa lahir; tidak ada satu pun yang luput dari jiwa. Termasuk juga daya cipta.
Jiwa-jiwa yang hadir melalui rupa dengan berbagai macam bentuk memberi refleksi atas ruang-ruang tak terduga yang menembus batas-batas perspektif dan nalar para pemerhatinya. Perjalanan panjang seseorang yang mencari jalan jiwanya melalui karya yang diciptakannya, melalui eksplorasi, eksperimentasi, dan naik-turun kondisi nuraninya, secara langsung ataupun tidak memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari pencarian itu.
Baca selengkapnya pada website:
http://jakartabiennale.net/

Tidak ada komentar